Oleh Yusnanik Bakhtiar
Dosen Prodi Hukum Universitas Negeri Padang dan Mahasiswa Program Studi Doktor Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas
Perundungan telah menjadi fenomena kriminal yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Kasus guru menganiaya murid, senior menindas junior di lingkungan pendidikan, hingga aksi perundungan siber yang merenggut nyawa korban, semuanya menggambarkan bahwa budaya kekerasan tengah tumbuh dalam kehidupan sosial kita. Mirisnya, banyak dari kasus tersebut tidak dapat dijangkau secara tepat oleh ketentuan hukum pidana yang berlaku saat ini. Masih segar dalam ingatan kita berbagai kasus perundungan yang menelan korban jiwa. Seorang siswa di Jawa Barat meninggal setelah mengalami kekerasan fisik dan intimidasi dari teman sebaya. Kasus lain, seorang remaja di Jawa Timur memilih mengakhiri hidupnya karena tak kuat menahan penghinaan yang terus menimpanya di media sosial. Deretan peristiwa tragis tersebut hanyalah sebagian kecil dari gunung es persoalan bullying di Indonesia.
Hari ini, perundungan telah menjadi wajah laten kekerasan sosial yang merusak keberanian, menghancurkan martabat, dan membunuh masa depan anak-anak bangsa. Pertanyaannya: apakah hukum kita sudah hadir melindungi mereka? Jawabannya, belum sepenuhnya. Padahal, hak setiap orang untuk bebas dari kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi dijamin oleh konstitusi. Ketika negara tidak memberikan perlindungan yang memadai, martabat anak sebagai generasi penerus bangsa menjadi taruhannya.
Sistem Regulasi Hukum
Regulasi Masih Lemah dan Parsial adalah salah satu penyebab perundungan belum dapat maksimal dijangkau oleh ketentuan hukum pidana. Padahal Indonesia sebenarnya memiliki berbagai instrumen hukum yang dapat menyentuh unsur perundungan, seperti: KUHP terkait penganiayaan atau kekerasan psikis (UU No.1/ 2023 yang akan mulai diberlakukan pada tanggal 2 Januari 2026), UU Perlindungan Anak (UU No. 35/ 2014), UU ITE (UU No.1/2024) untuk kasus perundungan digital. Namun, seluruh aturan itu tidak mengenal istilah perundungan sebagai delik yang berdiri sendiri. Akibatnya, banyak bentuk perundungan seperti penyingkiran sosial, ancaman verbal, hingga penghinaan yang merusak mental tidak bisa dipidana secara efektif. Hukum kita masih terlalu fokus pada luka fisik, padahal banyak korban meninggal bukan karena pukulan, melainkan tekanan psikologis yang tak tertahankan.
Sekolah Harus Menjadi Ruang Aman
Fakta menunjukkan mayoritas kasus terjadi di sekolah. Lingkungan yang seharusnya mendidik justru banyak menjadi tempat kekerasan. Setiap sekolah wajib memiliki standar penanganan perundungan, guru harus dilatih menjadi pelindung, bukan pelaku, pendidikan karakter harus menjadi budaya, bukan sekadar slogan. Jika aturan internal sekolah diperkuat, aparat penegak hukum tidak perlu selalu menjadi solusi terakhir.
Rekonstruksi Hukum dan Politik Hukum Pidana Menentukan Arah dan Masa Depan Perlindungan Anak.
Negara harus hadir memberi pesan yang jelas, tidak ada satu pun bentuk perundungan yang boleh ditoleransi. Martabat manusia tidak boleh direndahkan oleh siapapun.
Rekonstruksi pengaturan perundungan dalam politik hukum pidana merupakan panggilan sejarah agar hukum tidak lagi datang terlambat ketika korban sudah kehilangan masa depan, bahkan nyawa. Melindungi anak berarti menyelamatkan masa depan bangsa. Dan dalam setiap penegakan hukum atas perundungan, satu kalimat harus kita ingat bersama: Anak bukan objek kekerasan. Anak adalah subjek perlindungan.
Politik hukum pidana adalah kebijakan negara menggunakan hukum pidana untuk melindungi masyarakat. Dalam konteks perundungan, seharusnya arah politik hukum pidana lebih menekankan pada pengakuan perundungan sebagai delik khusus dengan unsur lengkap: fisik, psikis, verbal, sosial, dan digital. Korban sebagai Fokus Utama, negara harus memastikan pemulihan mental, bukan hanya menghukum pelaku. Pendekatan Restoratif bagi Pelaku, hukum harus mendidik, bukan balas dendam.
Perlunya Rekonstruksi Pengaturan Perundungan Dalam Politik Hukum Pidana Indonesia
Karena kelemahan yang ada akan menciptakan ketidakpastian hukum, Banyak kasus yang “menggantung” karena tidak ada pasal yang tepat. Aparat bingung menentukan pendekatan: administratif, etik, atau pidana?. Sekolah sering menutupi kasus karena takut reputasi tercoreng. Korban terpaksa berdamai, bahkan dipaksa minta maaf. Ini bukan persoalan kriminalitas semata, tetapi persoalan martabat manusia. Hukum pidana harus hadir sebagai guardian of human dignity penjaga martabat manusia.
Sekolah Harus Mengambil Peran untuk melindungi anak didiknya. Perlindungan terhadap anak tidak boleh hanya dibebankan kepada aparat hukum saja. Sekolah wajib memiliki Peraturan Anti-Perundungan, menyediakan mekanisme pelaporan yang aman, menyiapkan konselor dan pengawasan psikologis, menghapus tradisi kekerasan senioritas.
Setelah adalah regulasi hukum pidana terhadap tindak perundungan maka akan memberikan kepastian hukum, sehingga tentu saja diharapkan akan memberikan efek jera bagi pelaku perundungan.










